Sabtu, 29 November 2014 | Tema: Forgiven to Forgive
Bagi - Bagi Buku
Kolose 3: 12-13
“Cuma buku saja kok ribut,” gerutu Ibu. “Ini bukan CUMA soal buku, ini soal kecintaanku pada dunia baca! Dan uang saku yang sejak SD sampai SMA kukumpulkan untuk mengoleksi dua ratus buku kini lenyap tak bersisa. Buku dibagi-bagi tanpa seizinku! Belum lagi oven, mikser, loyang, cetakan kue ... habis semua ....” Aku tak sanggup melampiaskan seluruh amarahku. Air mata keburu membanjir dan membuat tenggorokanku tersekat.
Itu bukan CUMA soal buku. Itu soal penghargaan terhadap milik pribadi yang dilanggar habis-habisan. Itu merenggut paksa semua yang kusayangi dan kurawat dengan hati-hati. Itu benar-benar menghancurkan hatiku. Pada akhirnya aku harus menghemat rupiah demi rupiah lagi untuk membeli buku-buku yang sama. Dan sebagian sudah tidak terbit lagi. Sebagian lagi tak mungkin terbeli karena itu merupakan hadiah dari bibiku. Hal itu benar-benar membuatku geram dan naik darah.
Butuh waktu panjang untuk melepaskan ganjalan yang begitu menyesakkan. Ada banyak kali aku mengungkit-ungkit perkara itu dalam pertikaian antara ...selengkapnya »
“Cuma buku saja kok ribut,” gerutu Ibu. “Ini bukan CUMA soal buku, ini soal kecintaanku pada dunia baca! Dan uang saku yang sejak SD sampai SMA kukumpulkan untuk mengoleksi dua ratus buku kini lenyap tak bersisa. Buku dibagi-bagi tanpa seizinku! Belum lagi oven, mikser, loyang, cetakan kue ... habis semua ....” Aku tak sanggup melampiaskan seluruh amarahku. Air mata keburu membanjir dan membuat tenggorokanku tersekat.
Itu bukan CUMA soal buku. Itu soal penghargaan terhadap milik pribadi yang dilanggar habis-habisan. Itu merenggut paksa semua yang kusayangi dan kurawat dengan hati-hati. Itu benar-benar menghancurkan hatiku. Pada akhirnya aku harus menghemat rupiah demi rupiah lagi untuk membeli buku-buku yang sama. Dan sebagian sudah tidak terbit lagi. Sebagian lagi tak mungkin terbeli karena itu merupakan hadiah dari bibiku. Hal itu benar-benar membuatku geram dan naik darah.
Butuh waktu panjang untuk melepaskan ganjalan yang begitu menyesakkan. Ada banyak kali aku mengungkit-ungkit perkara itu dalam pertikaian antara Ibu dan aku. Dan setiap kali aku meluapkan amarah, itu tak memperbaiki keadaan. Hanya menyakiti Ibu dan aku lebih dalam lagi. Untuk apa?
Akhirnya aku melihatnya seperti ini. Tak dapat kuubah apa yang terjadi kepadaku. Mendendam pada Ibu tidak membawa kebaikan. Ibu tahu akan kesalahannya. Dan meski tanpa ada permintaan maaf darinya, aku telah mengampuninya. Aku pun bisa menghindari melakukan kesalahan yang sama terhadap anak-anakku. Aku belajar untuk berhati-hati dan menghargai hak milik mereka.
Sederhana? Mari belajar untuk tidak menyepelekan hal-hal yang sederhana. Hal sederhana yang tak kunjung dituntaskan bisa membawa kepahitan yang mendalam. Namun hal sederhana yang membuat kita terlatih untuk mengampuni bisa membawa sukacita yang tak terkira.