|
SEPEKAN TERAKHIR |
|
|
|
POKOK RENUNGAN |
|
|
|
Berhati-hatilah, ‘ingin seperti yang lain’ berpotensi menjauhkan kita dari kehendak Tuhan. |
|
|
|
|
|
|
Renungan Lain oleh Penulis: |
|
|
|
|
|
|
|
|
Home » Renungan » Ingin Seoerti Yang Lain |
|
Ingin Seoerti Yang Lain |
|
Kamis, 07 April 2016 | Tema: Imamat Yang Rajani |
|
|
|
|
|
Ingin Seoerti Yang Lain |
|
1 Samuel 8:1-22 |
|
|
|
|
|
|
Sore itu Sambey duduk santai di sebuah mall ternama di kotanya. Sudah lama ia tidak punya waktu untuk memanjakan dirinya. Diam termenung merajut makna hidup meski di tengah-tengah keramaian mall. Raut wajahnya penuh perhatian namun santai. Kadangkala tersenyum kecil merespon tingkah laku biasa para pengunjung mall. Tingkah laku yang dalam perenungannya menjadi tidak biasa lagi. “Ingin seperti yang lain”, gumam Sambey setelah beberapa jam duduk terpaku. Seolah-olah ia bisa membaca naluri yang bersembunyi di balik tindakan para pengunjung. Apakah yang sedang dicari para pemburu pakaian itu? Mode terbarukah? Apakah yang sedang dibeli oleh pecinta gadget? Teknologi terkinikah? Mereka berbelanja sambil memenuhi kebutuhan “ingin seperti yang lain”. Keinginan untuk tampak modis dan trendi, bukan yang biasa-biasa. Keinginan untuk tampak canggih, bukan jadul [jaman dulu]. “Eee...e...e... tunggu dulu! Bukankah semuanya itu tidak salah, Sam?” seru suara hati Sambey. Sejenak Sambey berpikir lalu bergumam, “Hmmm...benar! Semuanya itu tidak salah. Tetapi kebutuhan “ingin seperti yang lain” adalah kebutuhan pencitraan yang bisa membuat orang membangun pemisahan tajam antara aku dan kamu, kita dan kalian, berdasarkan apa yang dapat dibeli, dipa...selengkapnya » |
Sore itu Sambey duduk santai di sebuah mall ternama di kotanya. Sudah lama ia tidak punya waktu untuk memanjakan dirinya. Diam termenung merajut makna hidup meski di tengah-tengah keramaian mall. Raut wajahnya penuh perhatian namun santai. Kadangkala tersenyum kecil merespon tingkah laku biasa para pengunjung mall. Tingkah laku yang dalam perenungannya menjadi tidak biasa lagi. “Ingin seperti yang lain”, gumam Sambey setelah beberapa jam duduk terpaku. Seolah-olah ia bisa membaca naluri yang bersembunyi di balik tindakan para pengunjung. Apakah yang sedang dicari para pemburu pakaian itu? Mode terbarukah? Apakah yang sedang dibeli oleh pecinta gadget? Teknologi terkinikah? Mereka berbelanja sambil memenuhi kebutuhan “ingin seperti yang lain”. Keinginan untuk tampak modis dan trendi, bukan yang biasa-biasa. Keinginan untuk tampak canggih, bukan jadul [jaman dulu]. “Eee...e...e... tunggu dulu! Bukankah semuanya itu tidak salah, Sam?” seru suara hati Sambey. Sejenak Sambey berpikir lalu bergumam, “Hmmm...benar! Semuanya itu tidak salah. Tetapi kebutuhan “ingin seperti yang lain” adalah kebutuhan pencitraan yang bisa membuat orang membangun pemisahan tajam antara aku dan kamu, kita dan kalian, berdasarkan apa yang dapat dibeli, dipakai, atau dikendarai. Akibatnya terbentuk pribadi yang sombong atau sebaliknya minder [rendah diri].
Lebih-lebih lagi, “ingin seperti yang lain” bisa membuat orang melupakan apa yang Tuhan inginkan. Sambey ingat akan kisah bangsa Israel yang memohon kepada Samuel untuk diberi seorang raja. Seorang raja dan kerajaannya seperti bangsa-bangsa yang lain [ayat 5,19]. Sebuah kebutuhan pencitraan agar sama seperti yang lain sehingga tidak dianggap ketinggalan jaman. Mereka tidak menggubris risiko yang harus mereka terima dengan adanya seorang raja [ayat 11-18]. “Pokoknya harus ada raja”, demikian kata bangsa Israel [ayat 19]. Tak sadar bahwa “ingin seperti yang lain” telah membuat mereka menolak Tuhan sebagai satu-satunya raja mereka [ayat 7].
Sejenak Sambey terdiam. Lalu sekonyong-konyong suara hatinya berbicara, “Ngapain kamu di mall ini? Biasanya kamu nonggrongnya di warung kopi, kan? Apakah ini juga pencitraan? Ingin tampak seperti yang lain?” Sambey nyengir mendengar peringatan lembut dari suara hatinya.
Jemaat yang terkasih, Tuhan ingin kita berhati-hati dengan apa yang kita inginkan. Apakah keinginan itu adalah kebutuhan? Ataukah keinginan itu sekedar untuk dapat seperti yang lain? Hati-hati karena keinginan berpotensi untuk menjauhkan kita dari kehendak Tuhan. Alangkah baiknya kita lebih mengutamakan keinginan Tuhan. Dia menginginkan kita hidup sebagai anggota kerajaan imam yang saling melayani satu dengan lainnya. Berhati-hatilah dengan keinganan untuk membangun “kerajaan pribadi” di mana kita ingin dipertuan-agung, maunya hanya dipatuhi dan dilayani “seperti yang lain”.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
FOLLOW OUR INSTAGRAM |
|
|
|
|
|
|
|