|
SEPEKAN TERAKHIR |
|
|
|
POKOK RENUNGAN |
|
|
|
Siapapun, kapanpun, dan bagaimanapun keadaannya, jadilah pembawa damai!
|
|
|
|
|
|
|
|
DITULIS OLEH |
|
Ibu Ribkah E. Christanti |
|
Kontributor |
|
|
|
|
Renungan Lain oleh Penulis: |
|
|
|
|
|
|
|
|
Home » Renungan » Jojo, Si ”Guru” Kami |
|
Jojo, Si ”Guru” Kami |
|
Rabu, 25 September 2013 | Tema: Kebenaran Kerajaan Allah |
|
|
|
|
|
Jojo, Si ”Guru” Kami |
|
Matius 5:9 |
|
|
|
|
|
|
Pagi itu, saya sedang bermain dengan Jojo, keponakan saya yang baru berusia 2,5 tahun. Beberapa saat kemudian, kakak saya, mama Jojo, datang untuk bercanda dengan saya sambil menggelitik saya, ketika Jojo sedang mengambil mainannya di kamar lain. Lalu dengan tertawa menahan geli, saya minta pertolongan kepada Jojo,”Jooooo, tolong tante! Bilang mama, kasihan tante!” Jojo pun segera berlari dan mengatakan demikian kepada mamanya. Tak lama kemudian ganti saya yang menggelitik kakak saya. Dengan kegelian, kakak saya pun meminta pertolongan kepada Jojo. Dia pun menolong mamanya dengan mengatakan, “Jangan tante, kasihan mama!” Lalu muncullah di benak kami untuk menguji reaksi Jojo, ketika kami berdua meminta tolong, kira-kira siapakah yang dia bela. Lalu kami berpura-pura berebut sebuah bantal, dan kami berdua pun sama-sama meminta tolong. Benar.
Datanglah harapan pertolongan kami, Jojo. Dia berlari mendapati kami. Beberapa saat dia memandangi kami berdua, lalu muncullah sebuah pernyataan yang tidak kami duga. Katanya, “Cari yang laiiiiinn!” Sontak kami berdua tertawa mengagumi ketulusan dan kepolosannya. Ternyata dia tidak membela tante ataupun mamanya. Dia berpikir “sebuah bantal”-lah sumber masalahnya sehingga ia menyuruh kami untuk cari bantal lain supaya tidak berebut. Dia pun segera pergi ke kamar lain lalu menghampiri kami seraya membawa sebuah bantal tidur kecil ...selengkapnya » |
Pagi itu, saya sedang bermain dengan Jojo, keponakan saya yang baru berusia 2,5 tahun. Beberapa saat kemudian, kakak saya, mama Jojo, datang untuk bercanda dengan saya sambil menggelitik saya, ketika Jojo sedang mengambil mainannya di kamar lain. Lalu dengan tertawa menahan geli, saya minta pertolongan kepada Jojo,”Jooooo, tolong tante! Bilang mama, kasihan tante!” Jojo pun segera berlari dan mengatakan demikian kepada mamanya. Tak lama kemudian ganti saya yang menggelitik kakak saya. Dengan kegelian, kakak saya pun meminta pertolongan kepada Jojo. Dia pun menolong mamanya dengan mengatakan, “Jangan tante, kasihan mama!” Lalu muncullah di benak kami untuk menguji reaksi Jojo, ketika kami berdua meminta tolong, kira-kira siapakah yang dia bela. Lalu kami berpura-pura berebut sebuah bantal, dan kami berdua pun sama-sama meminta tolong. Benar.
Datanglah harapan pertolongan kami, Jojo. Dia berlari mendapati kami. Beberapa saat dia memandangi kami berdua, lalu muncullah sebuah pernyataan yang tidak kami duga. Katanya, “Cari yang laiiiiinn!” Sontak kami berdua tertawa mengagumi ketulusan dan kepolosannya. Ternyata dia tidak membela tante ataupun mamanya. Dia berpikir “sebuah bantal”-lah sumber masalahnya sehingga ia menyuruh kami untuk cari bantal lain supaya tidak berebut. Dia pun segera pergi ke kamar lain lalu menghampiri kami seraya membawa sebuah bantal tidur kecil miliknya sebagai solusi.
Peristiwa yang terjadi beberapa tahun lalu itu, sangat berkesan buat saya, khususnya. Bagaimana anak usia 2,5 tahun mampu memberi solusi yang tepat dan justru mengajari kami untuk tidak bermusuhan, bahkan dengan rela mengalah demi sebuah kedamaian. Sebuah kesan itu semakin tajam ketika seharusnya anak seusia itu, belum terpikirkan untuk mengajari orang lain supaya mengalah, tapi dia melakukannya.
Dalam ayat yang kita baca hari ini, menyatakan bahwa akan berbahagia orang yang membawa damai. Sebuah keadaan di mana tidak ada permusuhan, peperangan, sehingga hanya ada ketenangan dan ketenteraman. Untuk mewujudkannya tidaklah mudah ketika budaya umum yang terjadi di sekitar kita mengajarkan: “Raihlah keinginanmu dengan cara apapun; dalam bisnis, tidak ada kata kawan atau lawan; berbuat baiklah pada orang yang berbuat baik kepadamu, balaslah orang yang berbuat jahat kepadamu, dll.” Mewujudkan kedamaian butuh pengorbanan. Dibutuhkan kebesaran hati untuk menekan ego dan penghargaan terhadap pribadi orang lain. Namun Firman Tuhan mengajarkan, siapapun, kapanpun dan bagaimanapun keadaannya, jadilah pembawa damai, sehingga kita bisa disebut “orang yang berbahagia”, karena kita telah menjadi murid Tuhan yang mengekspresikan kasih.
Kisah sederhana di atas membuktikan bahwa kebahagiaan tidak hanya dialami oleh “si pembawa damai” saja, tapi orang-orang di sekitarnya juga. Apakah Anda sudah melakukan seperti yang Jojo lakukan? Kalau Jojo yang baru berusia 2,5 tahun bisa, Anda pun pasti bisa melakukan misi pembawa damai dengan cara yang lebih kompeks. Selamat menjadi pembawa damai! |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
FOLLOW OUR INSTAGRAM |
|
|
|
|
|
|
|