|
SEPEKAN TERAKHIR |
|
|
|
POKOK RENUNGAN |
|
|
|
Lebih baik ‘autis’ di mata manusia daripada ‘autis’ di mata Tuhan. |
|
|
|
|
|
|
|
DITULIS OLEH |
|
Ibu Ribkah E. Christanti |
|
Kontributor |
|
|
|
|
Renungan Lain oleh Penulis: |
|
|
|
|
|
|
|
|
Home » Renungan » Kata Mereka, Saya Autis |
|
Kata Mereka, Saya Autis |
|
Senin, 13 April 2015 | Tema: Berkenan Di Hati Tuhan |
|
|
|
|
|
Kata Mereka, Saya Autis |
|
Kejadian 9:6-12 |
|
|
|
|
|
|
Autis. Itu adalah julukan teman-teman kepada saya ketika masih di bangku kuliah dulu. Waktu itu, saya memang bertekad keras untuk belajar serius, memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya karena saya merasa butuh waktu lebih banyak dan konsentrasi lebih untuk menguasai materi lagu dibandingkan teman-teman yang memiliki bakat musik lebih baik dari saya. Akibatnya, hampir seluruh waktu saya selama 7 semester, habis di ruang latihan, perpustakaan dan kamar. Sangat jarang sekali saya duduk santai di ruang makan, di teras asrama atau kampus bahkan jalan-jalan. Parahnya, saya menyapa teman dan main ke kamar teman pun seperlunya. Tapi Puji Tuhan, semua yang saya lakukan membuahkan hasil. Semua tugas-tugas saya selesai tepat waktu dengan hasil yang memuaskan, meski harus menyandang predikat “orang autis”. Dan hasil yang saya peroleh berbanding terbalik dengan mereka yang mengatai saya autis.
Sepintas pengalaman saya terasa negatif dan terdengar kurang baik. Namun keputusan ini saya ambil karena melihat teman-teman dan kakak tingkat waktu itu, menurut saya, kurang memberi teladan yang baik dalam hal belajar. Hidup santai, belajar sebisanya, mengerjakan tugas sekenanya, seakan-akan sudah menjadi budaya yang umum. Maka ketika saya memiliki sikap yang berbeda, tidak sedikit yang ...selengkapnya » |
Autis. Itu adalah julukan teman-teman kepada saya ketika masih di bangku kuliah dulu. Waktu itu, saya memang bertekad keras untuk belajar serius, memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya karena saya merasa butuh waktu lebih banyak dan konsentrasi lebih untuk menguasai materi lagu dibandingkan teman-teman yang memiliki bakat musik lebih baik dari saya. Akibatnya, hampir seluruh waktu saya selama 7 semester, habis di ruang latihan, perpustakaan dan kamar. Sangat jarang sekali saya duduk santai di ruang makan, di teras asrama atau kampus bahkan jalan-jalan. Parahnya, saya menyapa teman dan main ke kamar teman pun seperlunya. Tapi Puji Tuhan, semua yang saya lakukan membuahkan hasil. Semua tugas-tugas saya selesai tepat waktu dengan hasil yang memuaskan, meski harus menyandang predikat “orang autis”. Dan hasil yang saya peroleh berbanding terbalik dengan mereka yang mengatai saya autis.
Sepintas pengalaman saya terasa negatif dan terdengar kurang baik. Namun keputusan ini saya ambil karena melihat teman-teman dan kakak tingkat waktu itu, menurut saya, kurang memberi teladan yang baik dalam hal belajar. Hidup santai, belajar sebisanya, mengerjakan tugas sekenanya, seakan-akan sudah menjadi budaya yang umum. Maka ketika saya memiliki sikap yang berbeda, tidak sedikit yang mencibir keputusan saya, memandang sebelah mata, bahkan dengan terang-terangan mengatakan bahwa saya sombong sehingga dia tidak suka kepada saya. Namun waktu membuktikan bahwa proses yang keras pasti membuahkan hasil yang memuaskan.
Pengalaman saya ini bagaikan sebuah etalase dari dunia di sekitar kita. Di sekeliling kita penuh dengan berbagai macam pola pikir, gaya hidup, kebiasaan, budaya, sudut pandang, intrik, dll, yang saling berkaitan. Tidak sedikit di antaranya yang membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat, termasuk orang percaya. Untuk menjadi “murni” atau tidak terpengaruh diperlukan usaha yang ekstra. Demikian juga dengan anak-anak Tuhan. Kita harus berani ambil resiko untuk dikatakan “gila, autis, aneh” demi menjaga kemurnian iman kita. Kita harus berani berkorban tenaga lebih untuk membuktikan bahwa kita tidak tergiur dengan “dana siluman”, “nilai siluman” dan “jabatan siluman”. |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
FOLLOW OUR INSTAGRAM |
|
|
|
|
|
|
|