|
SEPEKAN TERAKHIR |
|
|
|
POKOK RENUNGAN |
|
|
|
Di manapun dan apapun pelayanan kita, jika dilakukan dengan kekuatan Allah maka akan berdampak kekal. |
|
|
|
|
|
|
|
DITULIS OLEH |
|
Ibu Ribkah E. Christanti |
|
Kontributor |
|
|
|
|
Renungan Lain oleh Penulis: |
|
|
|
|
|
|
|
|
Home » Renungan » Melayani Dengan Kekuatan Anugerah Allah |
|
Melayani Dengan Kekuatan Anugerah Allah |
|
Sabtu, 21 Februari 2015 | Tema: Love In Action |
|
|
|
|
|
Melayani Dengan Kekuatan Anugerah Allah |
|
1 Korintus 2:15; Galatia 2:8 |
|
|
|
|
|
|
Kemarin saya membaca status seorang teman di media sosial yang menimbulkan banyak interpretasi. Dalam tulisannya dia meminta maaf kepada temannya karena tidak bisa mentraktir. Menurutnya, dia bukan pendeta kota yang “berkantong tebal”, melainkan pendeta ndeso yang kadang punya duit kadang tidak. Kalau ada duit ya makan, kalau tidak ada ya puasa, katanya. Terang saja hal ini menimbulkan perang komentar dari berbagai sudut pandang. Entah hanya untuk sensasi atau merupakan curahan hati, yang jelas pernyataan itu berhasil membuat gerah pembacanya. Ada yang menasihati untuk tidak mengumbarnya di media sosial; ada yang mengingatkan untuk tetap bersyukur; ada yang menyarankan untuk tidak jadi pendeta jika mau banyak uang; tapi juga ada yang menyemangatinya karena menurutnya ini adalah sebuah kejujuran.
Jika status tersebut merupakan sebuah “kejujuran” dari seorang pelayan Tuhan tentang keadaan ekonomi sosialnya, maka apakah sikapnya sudah dilandasi dengan kasih [1 Korintus 13:4-7]? Jujur atau mengeluh? Atau keduanya? 1 Petrus 4:11 mengatakan bahwa pelayanan adalah anugerah Tuhan, maka sebagai penerima anugerah hendaknya kita melakukannya dengan penuh rasa syukur, dengan tulus, dan dengan penuh tanggung jawab. Ada banyak orang yang keadaannya lebih memprihatinkan, namun mere...selengkapnya » |
Kemarin saya membaca status seorang teman di media sosial yang menimbulkan banyak interpretasi. Dalam tulisannya dia meminta maaf kepada temannya karena tidak bisa mentraktir. Menurutnya, dia bukan pendeta kota yang “berkantong tebal”, melainkan pendeta ndeso yang kadang punya duit kadang tidak. Kalau ada duit ya makan, kalau tidak ada ya puasa, katanya. Terang saja hal ini menimbulkan perang komentar dari berbagai sudut pandang. Entah hanya untuk sensasi atau merupakan curahan hati, yang jelas pernyataan itu berhasil membuat gerah pembacanya. Ada yang menasihati untuk tidak mengumbarnya di media sosial; ada yang mengingatkan untuk tetap bersyukur; ada yang menyarankan untuk tidak jadi pendeta jika mau banyak uang; tapi juga ada yang menyemangatinya karena menurutnya ini adalah sebuah kejujuran.
Jika status tersebut merupakan sebuah “kejujuran” dari seorang pelayan Tuhan tentang keadaan ekonomi sosialnya, maka apakah sikapnya sudah dilandasi dengan kasih [1 Korintus 13:4-7]? Jujur atau mengeluh? Atau keduanya? 1 Petrus 4:11 mengatakan bahwa pelayanan adalah anugerah Tuhan, maka sebagai penerima anugerah hendaknya kita melakukannya dengan penuh rasa syukur, dengan tulus, dan dengan penuh tanggung jawab. Ada banyak orang yang keadaannya lebih memprihatinkan, namun mereka masih bisa bersukacita ketika melayani Tuhan. Sebut saja bapak Y, seorang pendeta dari desa Precet, Wlingi, Blitar. Dia menggembalakan hanya sekitar 20 orang yang dirintisnya melalui kesetiaannya membuka persekutuan doa. Dia hanya punya sepeda sebagai satu-satunya alat transportasi untuk hidup dan pelayanannya. Untuk menopang perekonomiannya, dia memelihara seekor kambing. Namun sampai Tuhan memanggilnya pulang ke rumah Bapa di usia sekitar 35 tahun, dia masih setia memegang penggembalaan itu. Kini istrinya dengan seorang anak yang berumur 9 tahun meneruskan pelayanannya di sana.
Keadaan sekeliling kita sangat mungkin mengganggu fokus kita dalam melayani Tuhan. Entah kebutuhan ekonomi, opini publik, kebutuhan sosial, dll. Pengetahuan, pengalaman, pikiran dan fisik kita seringkali tidak mampu menahan desakan-desakan itu. Namun jika kita mengandalkan kekuatan dari Tuhan, maka kita akan menang. Daud bisa membuat roh jahat pergi dari Saul saat Roh Tuhan menguasainya ketika bermain kecapi [1 Samuel 16:23]. Berbeda halnya dengan Saul, ketika Samuel tak kunjung datang untuk mempersembahkan korban, sementara rakyat mendesaknya, maka ia pun melayani dengan pengetahuannya saja dan bukan karena kehendak Tuhan. Justru Saul tidak mendapat perkenanan Allah. Jadi jika saat ini kita sedang dipercayakan untuk melayani Tuhan dalam bidang apapun dan di manapun, lakukan dengan penuh ucapan syukur, bertanggung jawab, setia dan dengan kekuatan dari Allah sebagai bukti kasih kita. Maka Tuhan akan dipermuliakan. Selain itu, pelayanan kita akan menjadi berkat serta nama kita tertulis sebagai pelaku Firman. |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
FOLLOW OUR INSTAGRAM |
|
|
|
|
|
|
|