|
SEPEKAN TERAKHIR |
|
|
|
POKOK RENUNGAN |
|
|
|
Ia [Allah] yang menyediakan benih bagi penabur, dan roti untuk dimakan, Ia juga yang akan menyediakan benih bagi kamu dan melipatgandakannya dan menumbuhkan buah-buah kebenaran; kamu akan diperkaya dalam segala macam kemurahan hati, yang membangkitkan syukur kepada Allah oleh karena kami. [2 Korintus 9:10-11]
|
|
|
|
|
|
|
Renungan Lain oleh Penulis: |
|
|
|
|
|
|
|
|
Home » Renungan » Menjadi Subyek Kebaikan |
|
Menjadi Subyek Kebaikan |
|
Sabtu, 21 Maret 2015 | Tema: Menebar Benih Kebaikan |
|
|
|
|
|
Menjadi Subyek Kebaikan |
|
2 Korintus 8:1-5 |
|
|
|
|
|
|
Kalau kita melihat acara televisi khususnya yang berhubungan dengan memberi bantuan, seringkali kaum miskin diposisikan sebagai pihak penerima. Bahkan tidak jarang kondisi sosial ekonomi mereka yang kurang beruntung dimanipulasi dan dieksploitasi untuk memancing rasa iba para pemirsanya. Akibatnya, terbentuklah opini publik bahwa kaum miskin identik dengan pihak yang hanya menerima bantuan. Memberi bantuan merupakan sebuah kebaikan yang sangat terpuji, tetapi jika ujung-ujungnya untuk mendongkrak rating siaran, tentu sungguh sangat disayangkan.
Alkitab menunjukkan sebuah fakta yang berbeda. Miskin tidak selalu identik sebagai obyek [penerima] kebaikan, tetapi bisa juga sebagai subyek [pelaku] kebaikan. Nats yang kita baca hari ini menyatakan bahwa jemaat Makedonia yang kondisinya ada di bawah tekanan pelbagai penderitaan yang berat dan sangat miskin justru kaya dalam kemurahan. Kondisi yang sangat menderita dan sangat miskin tidak memposisikan mereka sebagai obyek kebaikan, tetapi mereka mampu menjadi subyek kebaikan. Penderitaan dan kemiskinan tidak membatasi mereka untuk melakukan kabaikan demi kebaikan.
Menjadi subyek kebaikan tidak ditentukan oleh kaya atau mi...selengkapnya » |
Kalau kita melihat acara televisi khususnya yang berhubungan dengan memberi bantuan, seringkali kaum miskin diposisikan sebagai pihak penerima. Bahkan tidak jarang kondisi sosial ekonomi mereka yang kurang beruntung dimanipulasi dan dieksploitasi untuk memancing rasa iba para pemirsanya. Akibatnya, terbentuklah opini publik bahwa kaum miskin identik dengan pihak yang hanya menerima bantuan. Memberi bantuan merupakan sebuah kebaikan yang sangat terpuji, tetapi jika ujung-ujungnya untuk mendongkrak rating siaran, tentu sungguh sangat disayangkan.
Alkitab menunjukkan sebuah fakta yang berbeda. Miskin tidak selalu identik sebagai obyek [penerima] kebaikan, tetapi bisa juga sebagai subyek [pelaku] kebaikan. Nats yang kita baca hari ini menyatakan bahwa jemaat Makedonia yang kondisinya ada di bawah tekanan pelbagai penderitaan yang berat dan sangat miskin justru kaya dalam kemurahan. Kondisi yang sangat menderita dan sangat miskin tidak memposisikan mereka sebagai obyek kebaikan, tetapi mereka mampu menjadi subyek kebaikan. Penderitaan dan kemiskinan tidak membatasi mereka untuk melakukan kabaikan demi kebaikan.
Menjadi subyek kebaikan tidak ditentukan oleh kaya atau miskin, sehat atau sakit, sempurna atau tidaknya kondisi fisik seseorang, dan sebagainya, tetapi lebih ditentukan oleh mentalitas seseorang. Mentalitas yang didasarkan pada pemahaman bahwa melakukan kebaikan adalah kasih karunia Allah. Artinya, jika kita bisa berbuat baik, itu adalah kasih karunia Allah karena pada dasarnya kesempatan, kesanggupan dan kemauan untuk berbuat baik semata-mata anugerah Allah. Jika seseorang memiliki mentalitas ini, maka ia tidak akan menjadi sombong; tidak akan menjadi takabur; tidak akan menepuk dada sendiri; atau tidak akan mencari penghormatan jika mampu melakukan banyak kebaikan. Karena segala sesuatu dari DIA, oleh DIA, dan untuk DIA. |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
FOLLOW OUR INSTAGRAM |
|
|
|
|
|
|
|