Jumat, 14 November 2014 | Tema: Forgiven to Forgive
Sebuah Cermin
Matius 18:23-35
”Mengapa Papi tinggalkan Epi? Apa Papi tidak sayang Epi?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirku saat aku yang masih remaja berjumpa dengan ayahku dalam satu kesempatan yang langka. Kutatap matanya lekat-lekat. Sangat ingin melihat kejujuran di sana.
Ia mengalihkan pandang. ”Itu nggak ada hubungannya dengan Epi. Itu masalah antara Papi dan Mami,” sahutnya ringan. Tanpa beban. Tanpa rasa bersalah. Darah yang mendidih membuat sekujur tubuhku serasa terbakar. Sia-sia kuungkapkan kehidupan yang kujalani tanpanya. Baginya itu hanyalah risiko yang harus kutanggung sebagai anak.
Betapa akan jauh lebih mudah untuk mengampuninya apabila ia menunjukkan penyesalannya. Namun itu tak pernah terjadi. Baginya semua wajar-wajar saja. Bagaimana mungkin aku mengampuni orang tua yang seumur hidup tak pernah ada untukku?
Marah. Benci. Aku tak ingin melihatnya. Tak ingin mendengar kabar darinya. Ingin menghapusnya dari ingatan. Bisakah? Pada kenyataannya...selengkapnya »
”Mengapa Papi tinggalkan Epi? Apa Papi tidak sayang Epi?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirku saat aku yang masih remaja berjumpa dengan ayahku dalam satu kesempatan yang langka. Kutatap matanya lekat-lekat. Sangat ingin melihat kejujuran di sana.
Ia mengalihkan pandang. ”Itu nggak ada hubungannya dengan Epi. Itu masalah antara Papi dan Mami,” sahutnya ringan. Tanpa beban. Tanpa rasa bersalah. Darah yang mendidih membuat sekujur tubuhku serasa terbakar. Sia-sia kuungkapkan kehidupan yang kujalani tanpanya. Baginya itu hanyalah risiko yang harus kutanggung sebagai anak.
Betapa akan jauh lebih mudah untuk mengampuninya apabila ia menunjukkan penyesalannya. Namun itu tak pernah terjadi. Baginya semua wajar-wajar saja. Bagaimana mungkin aku mengampuni orang tua yang seumur hidup tak pernah ada untukku?
Marah. Benci. Aku tak ingin melihatnya. Tak ingin mendengar kabar darinya. Ingin menghapusnya dari ingatan. Bisakah? Pada kenyataannya aku menyisipkan namanya dalam doa-doaku. Nyatanya aku meminta fotonya bersama keluarga barunya. Aku memeluk adik-adik tiriku. Aku mencium tangan perempuan yang merenggut ayahku dari kami. Aku melakukan hal-hal yang mustahil. Aku mengalami kuasa pengampunan.
Aku diampuni. Dan aku mengampuni. Bukan karena mulia hatiku. Yang kulakukan semata-mata mencerminkan kemuliaan Yesus Kristus yang telah memberiku pengampunan atas dosa-dosaku.