|
SEPEKAN TERAKHIR |
|
|
|
POKOK RENUNGAN |
|
|
|
Pokok renungan:
Semarak ibadah kita hendaknya nyata lahir dalam hidup keseharian yang penuh kasih, keadilan dan kebenaran. |
|
|
|
|
|
|
Renungan Lain oleh Penulis: |
|
|
|
|
|
|
|
|
Home » Renungan » Semarak di Dalam, Semerbak di Luar |
|
Semarak di Dalam, Semerbak di Luar |
|
Senin, 08 Februari 2016 | Tema: Tuhan Hadir di Bait KudusNya |
|
|
|
|
|
Semarak di Dalam, Semerbak di Luar |
|
Amos 5:21-24; 7-15 |
|
|
|
|
|
|
“....Banyak yang cinta damai, tapi perang makin ramai. Bingung, bingung ku memikirnya.” Demikian sepenggal syair lagu yang sedang dilantunkan sebuah grup qasidah, tidak jauh dari warung kopi tempat Sambey dan Benay nongkrong. Tak disadari pinggul Benay turut bergoyang mengikuti hentakan rebana pengiring lagu itu. “Ini lagu frustrasi, Sam”, kata Benay sambil terus bergoyang, “Banyak yang omong cinta damai, tetapi kenyataannya perang terus terjadi.” “Benar Ben. Ini sebuah ironi”, kata Sambey. “Mirip yang terjadi di bangsa kita”, kata Benay, “Semarak keagamaan luar biasa, tetapi semarak pula korupsi, manipulasi, dan berbagai kejahatan yang lain.” Sambey manggut-manggut dan berkata, “Ya. Ini sebuah ironi juga.” “Piye to Sam! Dari tadi kamu hanya menjawab ironi! Ironi terus!”, kata Benay.
Sambey tersenyum, tangannya perlahan menepuk pundak Benay. “Aku setuju denganmu, sahabatku”, ujar Sambey, “Semarak hidup keagamaan dalam ibadah dan perayaan-perayaannya harusnya sejalan dengan praktek hidup di keluarga, pekerjaan, dan masyarakat. Semarak menyembah dan memuji Tuhan di dalam gereja, haruslah semerbaknya dibawa keluar gereja sehingga dimanapun Tuhan dimuliakan dalam perkataan dan perbuatan kita.” “Ya Sam. Harusnya demikian sehingga tidak terjadi ironi”, kata Benay. Sambey ...selengkapnya » |
“....Banyak yang cinta damai, tapi perang makin ramai. Bingung, bingung ku memikirnya.” Demikian sepenggal syair lagu yang sedang dilantunkan sebuah grup qasidah, tidak jauh dari warung kopi tempat Sambey dan Benay nongkrong. Tak disadari pinggul Benay turut bergoyang mengikuti hentakan rebana pengiring lagu itu. “Ini lagu frustrasi, Sam”, kata Benay sambil terus bergoyang, “Banyak yang omong cinta damai, tetapi kenyataannya perang terus terjadi.” “Benar Ben. Ini sebuah ironi”, kata Sambey. “Mirip yang terjadi di bangsa kita”, kata Benay, “Semarak keagamaan luar biasa, tetapi semarak pula korupsi, manipulasi, dan berbagai kejahatan yang lain.” Sambey manggut-manggut dan berkata, “Ya. Ini sebuah ironi juga.” “Piye to Sam! Dari tadi kamu hanya menjawab ironi! Ironi terus!”, kata Benay.
Sambey tersenyum, tangannya perlahan menepuk pundak Benay. “Aku setuju denganmu, sahabatku”, ujar Sambey, “Semarak hidup keagamaan dalam ibadah dan perayaan-perayaannya harusnya sejalan dengan praktek hidup di keluarga, pekerjaan, dan masyarakat. Semarak menyembah dan memuji Tuhan di dalam gereja, haruslah semerbaknya dibawa keluar gereja sehingga dimanapun Tuhan dimuliakan dalam perkataan dan perbuatan kita.” “Ya Sam. Harusnya demikian sehingga tidak terjadi ironi”, kata Benay. Sambey tersenyum simpul. “Lho malah sekarang kamu yang ironi! Ironi terus!”, kata Sambey sambil menyikut Benay. Sejenak dua sahabat itu hanyut dalam gelak tawa.
“Omong-omong..., TUHAN tidak suka dengan ironi semacam itu lho”, kata Sambey. “Lebih tepatnya TUHAN murka pada umat-Nya yang hidupnya tidak sejalan dengan ibadahnya”, kata Benay. Sambey mengangguk kuat pertanda setuju. “Aku ingat dengan peringatan keras Nabi Amos kepada bangsa Israel”, kata Benay “Melalui Nabi Amos, TUHAN membenci dan menghinakan semarak peribadahan Israel. Kamu tahu mengapa? Mengapa TUHAN sepertinya tidak suka dipuja-puji dan disembah oleh umat-Nya?” “Wah, kamu ngetes aku nih!” kata Sambey, “Jelas karena dalam kehidupan sehari-hari umat Israel memperkosa keadilan dan bertindak jahat dengan menginjak-injak orang lemah, menjadikan orang benar terjepit, menerima suap, dan mengesampingkan orang miskin.” “Wah jos gandos sahabatku ini. Tepat! Nilaimu seratus...tus..tus...”, kata Benay. Keduanya pun melanjutkan untuk menikmati secangkir kopi hangat di warung kopi seberang gereja.
Jemaat yang terkasih, TUHAN hadir dalam setiap detak jantung kita. DIA hadir dalam setiap langkah hidup kita. DIA memberi anugrah dan berkat-NYA pada kita. Pujian dan penyembahan kita haturkan kepada-NYA, khususnya dalam setiap perkumpulan ibadah kita di gereja. TUHAN menyukai pujian dan penyembahan kita itu jika sikap dan tindakan kita adalah adil dan benar di pemandangan-NYA. Bukan hanya ketika kita beribadah di gereja, tetapi ketika kita di luar gereja juga. |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
FOLLOW OUR INSTAGRAM |
|
|
|
|
|
|
|