|
SEPEKAN TERAKHIR |
|
|
|
POKOK RENUNGAN |
|
|
|
Merasa superior bisa menjadikan seseorang seperti monster.
|
|
|
|
|
|
|
Renungan Lain oleh Penulis: |
|
|
|
|
|
|
|
|
Home » Renungan » Seperti Monster |
|
Seperti Monster |
|
Senin, 27 Maret 2017 |
|
|
|
|
|
Seperti Monster |
|
Lukas 18:9-14 |
|
|
|
|
|
|
Kita pasti tidak asing dengan sapaan ‘sahabat super’ yang sering diucapkan oleh seorang motivator di salah satu stasiun TV swasta. Tentunya sapaan tersebut dipakai untuk mengajak setiap pemirsa televisi melihat dirinya sendiri sebagai pribadi super. Terlepas dari sapaan itu, merasa super atau menjadi super bukanlah sesuatu yang buruk, tetapi jangan kebablasan merasa atau menjadi superior.
Sejarah telah mencatat, mereka yang merasa superior bukannya menjadi super, tetapi malah menjadi monster. Misalnya, Firaun yang merasa diri superior karena mengklaim sebagai keturunan dewa, cenderung mempergunakan kekuasaannya untuk menindas rakyatnya. Di zaman yang jauh lebih modern, Adolf Hitler dengan pernyataannya ‘Deutschland Uber Alles’ [Jerman di atas segalanya] dan pemahaman bahwa bangsa Aria [Jerman] adalah bangsa yang tertinggi di dunia telah menjadikan dirinya penguasa yang tirani.
Ternyata bukan hanya dunia penguasa pemerintahan yang bisa terserang virus ‘sup...selengkapnya » |
Kita pasti tidak asing dengan sapaan ‘sahabat super’ yang sering diucapkan oleh seorang motivator di salah satu stasiun TV swasta. Tentunya sapaan tersebut dipakai untuk mengajak setiap pemirsa televisi melihat dirinya sendiri sebagai pribadi super. Terlepas dari sapaan itu, merasa super atau menjadi super bukanlah sesuatu yang buruk, tetapi jangan kebablasan merasa atau menjadi superior.
Sejarah telah mencatat, mereka yang merasa superior bukannya menjadi super, tetapi malah menjadi monster. Misalnya, Firaun yang merasa diri superior karena mengklaim sebagai keturunan dewa, cenderung mempergunakan kekuasaannya untuk menindas rakyatnya. Di zaman yang jauh lebih modern, Adolf Hitler dengan pernyataannya ‘Deutschland Uber Alles’ [Jerman di atas segalanya] dan pemahaman bahwa bangsa Aria [Jerman] adalah bangsa yang tertinggi di dunia telah menjadikan dirinya penguasa yang tirani.
Ternyata bukan hanya dunia penguasa pemerintahan yang bisa terserang virus ‘superior’, tetapi juga lingkup spiritual pun bisa tertular. Hal itu bisa kita lihat ketika Tuhan Yesus membentangkan perumpamaan tentang orang Farisi dengan pemungut cukai. Mengapa? Karena ada beberapa orang merasa diri superior dengan menganggap dirinya benar dan memandang rendah orang lain.
Dalam perumpamaan tersebut orang Farisi dan pemungut cukai sama-sama pergi berdoa ke Bait Allah. Orang Farisi berdoa dengan membanggakan [menyombongkan] dirinya. Ia bangga akan status sebagai ‘orang baik dan terhormat’; ia membanggakan sisi ‘religiusitasnya’, ‘kesalehan dan ketaatannya pada perintah Allah’. Tanpa malu ia memamerkan seabreg prestasi keagamaannya di hadapan Sang Khalik. Sebaliknya si pemungut cukai berdiri jauh-jauh dan tidak berani menengadah ke langit, menyadari sebagai orang berdosa yang tidak layak berdiri di hadapan Allah. Ia hanya bisa meratap dan memohon belas kasihan Sang Pencipta. Kepada siapa Allah berkenan? Bukan semata-mata kepada si pemungut cukai, tetapi kepada orang yang merendahkan diri di hadapan-Nya. Allah berkenan bukan kepada orang yang meninggikan diri; merasa superior, melainkan kepada orang yang merendahkan hati.
Kita harus berhati-hati dengan sikap merasa diri superior dalam hal spiritualitas dan keagamaan karena bisa memunculkan kecenderungan menjadi ‘hakim suci’. Tanpa sadar merasa yang ‘berhak’ menentukan suci atau tidaknya seseorang; saleh atau tidaknya seseorang; merasa berhak menunjuk jari kepada orang lain dengan tatapan merendahkan dan merasa lebih baik serta lebih benar; menjatuhkan sanksi tanpa disertai belas kasih; dsb. Orang seperti itu tidak ubahnya menjadi ‘diktator dan penguasa rohani’ yang tirani yang dibungkus kesucian dan kesalehan semu.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
FOLLOW OUR INSTAGRAM |
|
|
|
|
|
|
|