|
SEPEKAN TERAKHIR |
|
|
|
POKOK RENUNGAN |
|
|
|
“Aku yang meratap telah KAUubah menjadi orang yang menari-nari, kain kabungku telah KAUbuka, pinggangku KAUikat dengan sukacita.” [Mazmur 30:12] |
|
|
|
|
|
|
Renungan Lain oleh Penulis: |
|
|
|
|
|
|
|
|
Home » Renungan » Tangisan Kita |
|
Tangisan Kita |
|
Jumat, 23 Desember 2016 | Tema: Siap Menyambut KedatanganNya |
|
|
|
|
|
Tangisan Kita |
|
Lukas 6:21b; Mazmur 56:9; 30:12 |
|
|
|
|
|
|
Hari-hari ini adalah hari-hari yang dinanti-nantikan oleh penduduk negeri. Pengadilan kasus sang gubernur telah dilaksanakan. Banyak pasang mata menonton di layar TV. Menanti apa yang akan terjadi. Tanpa pernah menduga sang gubernur menangis ketika membacakan nota keberatannya. Sebuah ekspresi biasa dari seorang manusia yang terharu, sedih atau prihatin. Namun dalam hal ini tangisan sang gubernur menjadi tidak biasa lagi. Berbagai perasaan dan prasangka muncul dalam benak pemirsa. Diikuti dengan berbagai komentar meluncur deras dari mulut. “Kasihan sang gubernur,” kata seseorang. “Sang gubernur yang selama ini garang, ternyata lembut hatinya,” kata yang lainnya. “Sang gubernur sedang main acting,” kata orang yang lainnya lagi.
Tampaknya gawe hukum yang banyak menjadi sorotan publik ini serta komentar-komentar yang mengiringinya mengalahkan perhatian pada tangisan anak negeri di ujung Sumatera yang baru saja dihantam gempa berkekuatan tinggi. Tidak hanya menyisakan reruntuhan bangunan dan kerugian harta benda tetapi juga nyawa dari orangtua, anak, keluarga, atau sahabat yang dicintai. Sebagian orang berpen...selengkapnya » |
Hari-hari ini adalah hari-hari yang dinanti-nantikan oleh penduduk negeri. Pengadilan kasus sang gubernur telah dilaksanakan. Banyak pasang mata menonton di layar TV. Menanti apa yang akan terjadi. Tanpa pernah menduga sang gubernur menangis ketika membacakan nota keberatannya. Sebuah ekspresi biasa dari seorang manusia yang terharu, sedih atau prihatin. Namun dalam hal ini tangisan sang gubernur menjadi tidak biasa lagi. Berbagai perasaan dan prasangka muncul dalam benak pemirsa. Diikuti dengan berbagai komentar meluncur deras dari mulut. “Kasihan sang gubernur,” kata seseorang. “Sang gubernur yang selama ini garang, ternyata lembut hatinya,” kata yang lainnya. “Sang gubernur sedang main acting,” kata orang yang lainnya lagi.
Tampaknya gawe hukum yang banyak menjadi sorotan publik ini serta komentar-komentar yang mengiringinya mengalahkan perhatian pada tangisan anak negeri di ujung Sumatera yang baru saja dihantam gempa berkekuatan tinggi. Tidak hanya menyisakan reruntuhan bangunan dan kerugian harta benda tetapi juga nyawa dari orangtua, anak, keluarga, atau sahabat yang dicintai. Sebagian orang berpendapat bahwa gempa ini adalah hukuman Tuhan. Tapi bagi sebagian orang lain ini adalah fenomena bencana alam biasa yang tidak perlu dikaitkan dengan hukuman. Manakah pendapat atau komentar yang paling benar? Tidak ada yang dapat memastikannya.
Sang pemuda sebatangkara punya pendapatnya sendiri. Ia tidak terlalu mempermasalahkan apakah tangisan sang gubernur hanyalah air mata buaya atau sungguh tangisan keprihatinan? Apakah tangisan rakyat di Serambi Mekah adalah tangisan hukuman Tuhan atau bukan? Yang jelas ada tangisan. Tangisan dari orang yang dilanda musibah yang tidak pernah ia harapkan. Dalam doanya pemuda sebatangkara menyerahkan tangisan-tangisan itu pada TUHAN, satu-satunya Hakim Yang Adil. Ia berharap tangisan sang gubernur maupun tangisan rakyat Pidie Jaya adalah tangisan yang murni. Tangisan anak-anak manusia yang rindu perasan dan cucuran air matanya didengar dan ditampung oleh TUHAN dalam kirbat-Nya. Tangisan yang memanggil kita untuk juga menangis bersama-sama mereka. Dalam pada itu tangisan sang gubernur dan tangisan rakyat menjadi tangisan KITA. Dan seperti biasa “Sttt…..tt.. jangan bilang siapa-siapa ya?” kata pemuda sebatangkara menutup penuturannya.
Jemaat yang terkasih, bukankah kita pernah menangis? Menangis sedih karena kegagalan kita. Menangis karena penyesalan dosa. Menangis karena difitnah. Bahkan menangis karena haru bahagia. Maka beranilah untuk menangis. Sebab sebagaimana TUHAN menerima kebahagiaan kita, pasti DIA menerima tangisan kita juga. Dan pada waktu-Nya akan mengubah tangisan kita menjadi tari-tarian sukacita. Akhirnya, selamat menanti-nantikan TUHAN dengan tawa dan tetes air mata yang tulus murni.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
FOLLOW OUR INSTAGRAM |
|
|
|
|
|
|
|